Sebelumnya saya telah menulis artikel "sadar akan Procrastination" yang membahas tentang betapa buruknya ketika kita menunda untuk mengerjakan sesuatu yang penting. Namun untuk mengubah sebuah kebiasaan sangatlah sulit, tidak bisa instan. Ada sebuah sub bab yang ingin saya bagikan dari sebuah buku yang berjudul "Take the Stairs" karya Rory Vaden yang merupakan salah satu buku favorit saya sampai saat ini, yang berhasil membantu saya untuk mengubah kebiasaan saya dalam hal procrastination. Saya harap dapat membantu.
Kita tahu bahwa hidup ini adalah pilihan. Menunda sesuatu atau tidak disiplin itu juga merupakan salah satu pilihan yang kita ambil. Nah, kenapa kita mau memilih sesuatu yang bodoh?. Ya seperti yang kita bahas sebelumnya kalau terkadang perasaan atau emosi itu jauh lebih hebat dari logika dan sisi analitis kita, sehingga kita lebih cenderung memilih pilihan-pilihan yang membuat kita nyaman yang kebanyakan adalah pilihan yang salah. Dan jujur aja lah, hidup ini ga seperti kayak di film bung, happy all the time, terkadang ada sesuatu yang sangat sulit untuk dijalani, ada beberapa hal yang menguras pikiran dan tenaga. Contohnya saja mungkin, mengerjakan tugas akhir praktikum instalasi, beradaptasi dengan dosen pembimbing skripsi, kondisi finansial yang tidak membaik, cinta yang bertepuk sebelah kaki, nilai akademis yang nyungsep begitu dalam, atau pengalaman-pengalaman pahit di masa yang lalu. Hal tersebut semakin mempersulit kita untuk memilih pilihan yang benar. Atau terkadang kita dapat memilih pilihan yang benar namun sambil dibarengin dengan gerutu, caci maki, atau rasa keterpaksaan. Dan tetap saja segala sesuatu yang dikerjakan dengan gerutu tidak akan berjalan dengan baik.
Saya akan membagikan bagian sub bab yang saya sebutkan diatas dengan gaya menulis saya. Seperti ini, seorang motivator di sebuah acara mengambil sebuah tali yang panjangnya 8 meter, tali yang sangat panjang. Katakan saja hidup manusia rata-rata saat ini 80 tahun, berarti ibaratkan tiap 10 cm dari tali itu mewakili 1 tahun hidup kita di dunia nyata. Ini permisalan aja lo ya, kita semua ingin memiliki umur yang lebih panjang.
Kita kuliah selama 4 tahun (mohon maaf buat sesepuh yang lulus diatas 4 tahun, lol), jika waktu tidur, makan dan istirahat kita dikeluarkan dari 4 tahun itu, waktu yang sebenarnya dihabiskan di kampus adalah sekitar 14 cm dari 8 meter tali tersebut.
8 meter itu sangatlah panjang jika dibandingkan dengan ukuran 14 cm, perbandingannya kira-kira seperti gambar yang telah saya buat diatas. Pilihan-pilihan yang anda buat pada rentang 14 cm itu sungguh mempengaruhi sisa kehidupan anda di masa yang akan datang. Ketika anda bisa membuat keputusan-keputusan yang benar, maka anda akan menikmati hasilnya selama 60 tahun ke depan.
Mungkin ada hari-hari yang begitu berat selama hidup kita di kuliah, seperti kasus yang sudah saya jabarkan diatas contohnya, atau terlalu berat bagi kita untuk memperhatikan dosen yang mengajar 3 sks di kampus, atau mungkin belajar mengerjakan tugas selama 2 jam dalam sehari. Tetapi ketauhilah bahwa momen-momen sulit seperti itu bahkan tidak dapat terlihat di ilustrasi tali kehidupan yang kita buat tadi, 1 hari dalam tali tersebut adalah sekitar 0,273 mm. 1 jam tentunya akan sangat kecil lagi. Apakah anda bisa melihat perbandingan antara 8 meter dengan 0.273 mm?
Dengan perpektif yang sempit, setiap hari, rasa frustasi atau kekecewaan yang kita alami seakan begitu besar, dan hidup ini serasa sangat berat untuk dijalani. Namun ketika kita melihat kehidupan ini dari sudut pandang yang luas, sudut pandang 8 meter, permasalahan atau tantangan yang kita alami hari ini itu bahkan seperti tidak terlihat, tidak ada.
Seberapa luas perspektif kita melihat kehidupan ini? Bagaimana lagi jika kita melihatnya dari sudut pandang kekekalan yang tak terhingga, apakah sulitnya hidup selama 80 tahun ini berarti?
Jika kita sudah bisa melihat bahwa ada masa depan yang akan kita tempuh, kita akan berusaha keras untuk menjalani setiap hari kita dengan sebaik-baiknya.
Rory Vaden menuliskan seperti ini
Nah bagaimana, masih mau mengeluh? Masih tetap memilih atau memutuskan dengan perasaan dan emosi sesaat? Begitu juga dengan pertanyaan, masih terlalu berat move on dari procrastination?
Apakah memang begitu berat untuk tidak mengurangi menggunakan media sosial atau menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak berguna selama kita kuliah. Mari buat pilihan yang bijak. Masa depan kita menunggu.
Mungkin ada hari-hari yang begitu berat selama hidup kita di kuliah, seperti kasus yang sudah saya jabarkan diatas contohnya, atau terlalu berat bagi kita untuk memperhatikan dosen yang mengajar 3 sks di kampus, atau mungkin belajar mengerjakan tugas selama 2 jam dalam sehari. Tetapi ketauhilah bahwa momen-momen sulit seperti itu bahkan tidak dapat terlihat di ilustrasi tali kehidupan yang kita buat tadi, 1 hari dalam tali tersebut adalah sekitar 0,273 mm. 1 jam tentunya akan sangat kecil lagi. Apakah anda bisa melihat perbandingan antara 8 meter dengan 0.273 mm?
Dengan perpektif yang sempit, setiap hari, rasa frustasi atau kekecewaan yang kita alami seakan begitu besar, dan hidup ini serasa sangat berat untuk dijalani. Namun ketika kita melihat kehidupan ini dari sudut pandang yang luas, sudut pandang 8 meter, permasalahan atau tantangan yang kita alami hari ini itu bahkan seperti tidak terlihat, tidak ada.
Seberapa luas perspektif kita melihat kehidupan ini? Bagaimana lagi jika kita melihatnya dari sudut pandang kekekalan yang tak terhingga, apakah sulitnya hidup selama 80 tahun ini berarti?
Jika kita sudah bisa melihat bahwa ada masa depan yang akan kita tempuh, kita akan berusaha keras untuk menjalani setiap hari kita dengan sebaik-baiknya.
Rory Vaden menuliskan seperti ini
A challenge in respect to today is a big problem. A challenge in respect to our life span is a small problem. A challenge in respect to eternity is no problemDengan sudut pandang yang luas, kita dimampukan untuk mengambil keputusan yang lebih baik. Hal tersebut memberikan kita kekuatan untuk menahan pengorbanan jangka pendek yang kita ambil. Kita diyakinkan bahwa itu semua akan terbayar dengan masa depan yang lebih baik dan tidak sebanding dengan pengorbanan yang kita lakukan.
Nah bagaimana, masih mau mengeluh? Masih tetap memilih atau memutuskan dengan perasaan dan emosi sesaat? Begitu juga dengan pertanyaan, masih terlalu berat move on dari procrastination?
Apakah memang begitu berat untuk tidak mengurangi menggunakan media sosial atau menghabiskan waktu dengan hal-hal yang tidak berguna selama kita kuliah. Mari buat pilihan yang bijak. Masa depan kita menunggu.
Bang ben. Saya tertarik artikel abg. Saya jg lulusan teknik. Tanpa sadar kynya saya akui tergolong procastination. Boleh minta bimbingannya. Maksud saya boleh minta no. Kontaknya. Saya org batak kok gk bakal aneh2. ky nya saya akut berat pyakit psikologi ni.
ReplyDeleteHalo Sartika, maaf baru balas, boleh kok ini email saya benypardede@hotmail.com
DeleteAtau kunjungi website utama saya di www.benypardede.com
Terimakasih Telah berkunjung
Ternyata saya jga procastinator 😢 Terimakasih bang Ben.. Artikelnya bikin saya nangis dan ngakak secara bersamaan. Lol
ReplyDeleteTernyata saya jga procastinator 😢 Terimakasih bang Ben.. Artikelnya bikin saya nangis dan ngakak secara bersamaan. Lol
ReplyDelete